KARYA ILMIYAH
FILSAFAT & ILMU LOGIKA
“FILSAFAT POLITIK”
DosenPembimbing
:
WIRA SUGIARTO, S.IP, M.Pd.I
Di
SUSUN
OLEH
:
JESI AGUSTIKA
SEMESTER IV.A PAI
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) BENGKALIS
2016 M /1437 H
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan nikmat kepada umatnya. Rahmat serta salam semoga tetap
tercurahnya kepada junjungan nabi besar kita, pemimpin akhir zaman yang sangat
dipanuti oleh pengikutnya yakni nabi Muhammad SAW. Karna tidak memperpanjangkan
waktu langsung saja saya bahas tugas saya yang berjudul “Filsafat politik”. Ini sengaja saya bahas karna sangat penting
untuk kita khususnya mahasiswa yang ingin lebih mengenal mengenai filsafat
politik. Selanjutnya, saya mengucapkan terimakasih kepada bapak yang telah
memberikan tugas sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan
tepat waktu.
Demikianlah tugas ini yang dapat saya paparkan jika ada
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan tugas ini saya mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Wassallamu’alaikum Wr.Wb
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
A.
Latar
Belakang Masalah...................................................................................... ............. 1
BAB
II PEMBAHASAN................................................................................................ 2
A.
Pengertian
Filsafat
politik................................................................................................. 2
B.
Signifikansi filsafat politik................................................................................................. 4
C.
Tipologi legitimasi........................................................................................................... 6
D.
Wacana demokrasi......................................................................................................... 7
E.
Prinsip-prinsip demokrasi.............................................................................................. . 9
F.
Agama dalam ruang publik..................................................................................
...........12
G.
Konklusi demokrasi sebagai kategori dinamis..................................................................
13
BAB
III PENUTUP.................................................................................................... 10
A.
Kesimpulan................................................................................................................... 10
B.
Saran........................................................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Filsafat Politik
merupakan studi tentang ide-ide dan institusi-institusi yang berkembang
sepanjang waktu. Ia berusaha menjelaskan pemahaman mengenai cara bagaimana
manusia di sepanjang zaman membentuk dan mengimplementasikan aspirasi politik
dan sosial. Namun, filsafat politik juga merupakan sesuatu yang lebih dari
sekedar analisis mengenai teori-teori politik masa lalu. Ia berusaha menemukan
prinsip-prinsip universal yang mendasari fenomena politik dalam semua situasi
historisnya. Dalam melakukan hal ini, studi ini berupaya untuk mencapai
pemahaman yang lebih baik mengenai politik kontemporer dari sudut padang etika
maupun sebab-akibat.
Studi politik tidak
terbatas pada masalah analisis terhadap institusi-institusi dan cara-cara
institusi tersebut berfungsi. Di balik institusi-institusi ini ada nilai-nilai
dan tujuan-tujuan yang tampak untuk didesain oleh politik. Sebagaimana hal
etikanya, pada dasarnya merupakan ilmu mengenai tatanan dimana watak manusia bisa
sampai pada kesempurnaan yang maksimal. Filsafat politik, atau pelacakan
prilaku dan fenomena politik dalam suatu kerangka etika merupakan bagian
integral dari studi politik.
Pada titik inilah,
dalam bab ini kita akan melakukan penjelajahan mengenai berbagai komponen yang
berhubungan dengan filsafat politik, yakni bagaimana pengertian filsafat
politik, signifikansi filsafat politik, tipologi legitimasi, wacana demokrasi,
agama dalam ruang publik, dan diakhiri dengan sebuah konklusi mengenai wacana
demokrasi sebagai kategori dinamis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Politik
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri
dari dua kata yaitu philo dan sophia. Dua kata ini mempunyai arti masing-masing
philo berarti cinta dalam arti lebih luas atau umum yaitu keinginan, kehendak.
Sedangkan sophia mempunyai arti hikmah, bijaksana, dan kebenaran. Jadi, secara
etimologis, filsafat dapat diartikan sebagai cinta akan bijaksana.
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat yang antara lain berwujud pada proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara. Dalam negara seperti indonesia, kekuasaan negara
terbagi tiga yaitu pertama, lembaga
eksekutif oleh presiden. Kedua, lembaga
legislatif oleh DPR. Dan ketiga,
lembaga yudikatif oleh Mahkamah Agung. Ketiga-tiga bersifat Independen artinya
tidak saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Politik juga sering
dikaitkan dengan hal penyelenggarannya pemerintah dengan negara. Yang
menyelenggarakannya bukan rakyat, tetapi pemerintahan yang berkuasa.
Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat politik adalah
suatu upaya untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan politik secara
sistematis, logis, bebas, mendalam dan menyeluruh. Filsafat politik berarti
pemikiran-pemikiran yang berkaitan tentang politik. Bidang politik merupakan
tempat menerapkan ide filsafat, ada berbagai macam ide-ide filsafat yang ikut
mendorong perkembangan politik modern yaitu liberalisme, komunisme, dan
pancasila. Filsafat politik juga dapat diartikan sebagai refleksi filosofis
mengenai masalah-masalah- sosial politik yang dapat dibedakan menjadi dua
bagian pembahasan yang berkaitan erat, yakni pertama, mempersoalkan hakikat, kedua,
mempersoalkan fungsi dan tujuan. Akan tetapi dalam kenyataannya, politik bukan
hanya mempersoalkan hakikat, fungsi dan tujuan negara, melainkan juga membahas
soal keluarga dalam negara, pendidikan, agama, hak dan kewajiban individual,
kekayaan dan harta milik pemerintah dan sebagainya. Filsafat politik berbeda
dengan ilmu politik, karna ilmu politik bersifat desriftif dan bersangkut paut
dengan fakta-fakta, sedangkan filsafat politik bersifat normatif dan bersangkut
paut dengan nilai-nilai.
Ada beberapa pengertian filsafat politik menurut beberapa
ahli, yaitu:
1.
Plato, filsafat
politik adalah upaya untuk membahas dan menguraikan berbagai segi kehidupan
manusia dalam hubungannya dengan negara, ia menawarkan konsep pemikiran tentang
manusia dan negara yang baik dan ia juga mempersoalkan cara yang harus ditempuh
untuk mewujudkan konsep pemikiran. Bagi plato, manusia dan negara memiliki
persamaan hakiki, oleh karna itu apabila manusia baik negarapun baik dan
apabila manusia buruk negarapun buruk. Apabila negara buruk berarti manusia
juga buruk, artinya negara adalah cerminan manusia yang menjadi warganya.
2.
Machiavelli,
filsafat politik adalah ilmu yang menuntut pemikiran dan tindakan yang praktis
dan konkrit terutama berhubungan dengan negara. Baginya, negara harus menduduki
tempat yang utama dalam kehidupan penguasa. Negara harus menjadi kriteria
tertinggi bagi akivitas sang penguasa, negara harus dilihat dalam dirinya tanpa
harus mengacu pada realitas apapun diluar negara.
3.
Agustinus, filsafat
politik adalah pemikiran-pemikiran tentang negara, menurutnya negara terbagi
dua yaitu: negara allah (civitas dei),
yang dikenal dengan surgawi “kerajaan allah, dan negara sekuler yang dikenal
dengan negara duniawi (civitas terrena). Kehidupan di dalam negara allah
diwarnai dengan iman, ketaatan, dan kasih sayang allah. Sedangkan negara
sekuler “duniawi” menurutnya identik dengan negara cinta pada diri sendiri atau
cinta egois ketidakjujuran, pengambaran hawa nafsu.[1]
Dalam buku Julian
Baggini juga dapat diartikan bahwa filsafat politik adalah mengenai cara kita
membenarkan berbagai bentuk pemerintah, ideologi politik, hukum dan ciri lain
dari negara. Ia bukan studi tentang bagaimana rezim dan sistem yang berbeda
sebenarnya bekerja, tetapi sebuah investigasi ke dalam prinsip dan argumentasi
apa yang bisa digunakan untuk mendukung atau mengkritik bentuk-bentuk umum
lembaga dan kepercayaan politik. Filsafat politik juga menyelidiki hal-hal di
balik hiruk pikuk banyak debat politik dan menguji soal yang lebih abadi.[2]
Sementara itu, dalam perspektif Haryatmoko, filsafat
politik merupakan refleksi untuk memperdalam segi-segi politik dan dengan upaya
ini kehidupan politik dapat mengunggkap struktur-strukturnya, maknanya, dan
nilainya. Jadi, filsafat politik tidak bisa dipisahkan dari upaya untuk merefleksikan
munculnya politik, makna dan nilai kategori politik dalam kehidupan manusia.
Maka, mempelajari sumber-sumber politik dituntut dapat menjelaskan bagaimana
politik muncul dan menurut kriteria apa esensi politik itu dapat didefinisikan.
Atas dasar struktur dan bentuk pemerintahan, orang bisa menguak prinsip dan
makna yang ada pada organisasi kelembagaan politik.
Sedangkan filsafat politik lebih reflektif, sintesis, dan
menyeluruh sehingga menuntut pengambilan jarak untuk tetap kritis terhadap realitas
politik. Filsafat politik selalu menentukan cara pandang tertentu dan menuntut
suatu penilaian (sitetis). Unsur normatif sangat kental, oleh karna itu
refleksi filosofis hanya mungkin dengan penjelasan dari sebuah ideal yang
mengandaikan sebuah konsepsi tentang manusia dan tujuannya.
B. Signifikansi Filsafat Politik
Dalam paradigma Haryatmoko, tugas filsafat politik
mencoba menjelaskan konsep-konsep, prinsip-prinsip, cara penalaran khas
praktik-praktik institusi-institusi, dan ideologi-ideologi politik. Filsafat
politrik memikirkan apa yang menjadi pra andaian dalam debat-debat dan
keputusan politik. Tugas filsafat politik berupaya mengusulkan suatu penjelasan
isi normatif yang ditunjukkan oleh sejarah, fakta ekonomi, sosial dan budaya.
Tugas filsafat politik adalah menganalisis secara reflektif, menyingkap dan
mendiskusikan secara kritis isi normatif yang ada dalam konteks sosio-budaya
kemudian merumuskan kembali dalam kerangka prinsip umum dengan metode
pembenaran yang mudah dipahami. Akan tetapi, upaya filsafat politik memberi
kejelasan tentang bahasa, konsep, dan cara penalaran politik untuk
mengungkapkan isi normatifnya bukan hanya merupakan kegiatan intelektual. Apa
yang dilakukan oleh filsafat politik itu adalah suatu tanggung jawab politik.
Isi tanggung jawab itu adalah pembentukan mereka yang ambil bagian dalam upaya
memberi kejelasan dalam perubahan menjadi warga negara yang mampu berpikir dan
terutama mampu memberikan penilaian politik.
Tanggung jawab politik dalam bentuk sumbangan pemikiran
yang reflektif ini dengan sangat jelas (misalnya) diperlihatkan oleh Hannah
Arentd Filsuf politik ini mengatakan bahwa tiadanya pemikiran merupakan bentuk
kejahatan atau awal dehumanisasi. Berfikir bersama-sama secara kritis, dalam
arti berfikir sendiri dan berfikir dengan menempatkan diri pada posisi orang
lain, kata Hannah Arentd, merupakan tanda kemanusiaan dan suatu janji bagi
lahirnya suatu dunia bersama yang manusiawi. Bila filsafat tidak bisa langsung
memberi kejelasan terhadap politik, setidaknya ia membuat orang mampu membuat
penilaian.
Dengan demikian, filsafat politik memperteguhkan
keyakinan-keyakinan yang matang, dan membantu mengambil kesimpulan yang bisa
dipertanggungjawabkan terhadap kemanusiaan. Jangan sampai filsafat politik
menjadi korban ilusi etnosentris, fanatisme agama, nasionalisme sempit sehingga
hanya dipergunakan sebagai alat untuk membangun teori yang memberikan pembenaran
terhadap prasangka-prasangka negatif suatu bangsa dan kelompok sosial. Filsafat
poitik harus kritis supaya tidak tergelincir ke dalam rekayasa ideologi.
Kegagalan filsafat politik terletak pada ketidak mampuan mengakui bahwa
pencarian kebenaran menuntut perlakuan terhadap yang lain dengan penuh hormat,
mengakui yang lain sebagai pribadi moral.
Untuk menghindari kegagalan itu filsafat politik
dipanggil untuk pengembangan suatu budaya politik publik. Maka, suatu refleksi
lebih dalam tentang hakikat penilaian politik akan membantu upaya tersebut.
Prasyarat pengembangan budaya politik publik ialah berfikir dengan menempatkan
diri pada posisi orng lain, ini merupakan ungkapan pemikiran yang terbuka.
Pada titik inilah, filsafat politik mempunyai peran
penting, yaitu sebagai pemikiran kritis dalam evaluasi kembali. Dan memberi
kejelasan supaya berfikir bersama tidak hanya menjadi berfikir bersama-sama,
tetapi sungguh menenmpatkan diri pada posisi orang lain. Filsafat politik
berperan dalam debat publik, pembentukan kehendak umum, dan etika publik yang
akan mematangkan argumen yang mendasari legitimasi kebijakan publik. Untuk itu
filsafat politik berusaha mengungkapkan pra-andai pra-andainya , menganalisis,
dan mengurangi kompleksitas dan ambiguitas keyakinan-kkeyakinan kita, berfikir
kritis seperti itu menghindarkan filsafat tergelincir menjadi ideologi.[3]
Sementara itu menurut SP Varma, seorang ahli filsafat
politik adalah seseorang yang dapat memisahkan pengetahuan dari pendapat, dan
yang memandang masalah-masalah yang dipelajari dari sudut pandang yang relatif
netral. Seorang teoretikus diharapkan dapat membebaskan diri dari pergulatan
politik yang sedang berlangsung dan memandang persoalan-persoalan dari sudut
pandang atau perspektif yang tidak memihak pada pihak yang sedang bersaing
(actual combatants) karna tugasnya adalah mencari kebenaran dan bukan ikut
serta dalam pergulatan yang sebenarnya.
Oleh sebab itu, seorang ahli filsafat politik dalam
pengertian tradisional adalah tidak lepas dari pergulatan politik zaman
sekarang. Ia tidak tinggal di menara gading yang sama sekali terpisah dari
dunia politik praktis, ia benar-benar bagian dari pergulatan itu. Satu-satunya
perbedaan antara dia dengan pelaku-pelaku pergulatan ialah kenyataan bahwa ia
berusaha mencari tahu apa yang benar dalam situasi yang berbeda, dan setelah
itu mempertahankan pandangannya dengan segenap kemampuan yang dimilikinya.
Dalam hal ini juga tidak berarti mendiami apa yang disebut menara gading yang
terpisah sama sekali dari dunia politik praktis, tempat ia menyibukan diri
dengan membangun bentuk-bentuk konsepsi yang seluruhnya abstrak. Teori politik
bukanlah suatu mekanisme pelarian diri melainkan sebuah panggilan yang berat.[4]
C. Tipologi Legitimasi
Istilah legitimasi yang dalam bahasa inggris diunggkapkan legitimacy
berarti pengesahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, legitimasi diartikan sebagai:
1.
Keterangan yang
mengesahkan atau membenarkan bahwa pemegang kebenaran adalah betul-betul orang
yang dimaksud (kesahan)
2.
Pernyataan yang
sudah menurut undang-undang atau sesuai dengan undang-undang (pengesahan).
Dalam konteks filsafat politik, legitimasi berarti keabsahan kekuasaan. Setiap kekuasaan negara
mempunyai wewenang atau otoritas yang dapat dipersoalkan apakah wewenang itu
absah atau tidak, apakah hak pihak yang berwenang untuk menuntut ketaatan
mempunyai dasar atau tidak. Di sini keabsahan adalah istilah normatif.
Mempertanyakan keabsahan wewenang berarti kita memperbandingkan wewenang dengan
suatu norma, apabila sesuai dengannya maka wewenang itu sah, apabila tidak,
wewenang itu tidak sah.
Dalam perspektif Franz Magnis-Suseno, dari segi objek dibedakan
antara dua pertanyaan legitimasi yaitu: antara legitimasi materi wewenang dan legitimasi
subjektif wewenang, legitimasi materi
wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsinya sedangkan legitimasi subjektif wewenang
mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau sekelompok orang
untuk membuat undang-undang dan peraturan bagi masyarakat dan untuk memegang
kekuasaan negara. Pada prinsipnya legitimasi terbagi menjadi 3, yaitu:
1.
Legitimasi Religius
Mendasarkan
hak untuk memerintah pada faktor-faktor yang adiduniawi, jadi bukan pada
kehendak rakyat atau pada suatu percakapan empiris khusus penguasaan. Menurut
paham ini, penguasa dipandang sebagai manusia yang memiliki kekuatan-kekuatan
adiduniawi, ilahi, gaib, maka ia sudah bukan manusia biasa lagi dan wewenangnya
tidak dapat diganggu gugat justru karna berhakikat adiduniawi.
2.
Legitimasi Eliter
Mendasarkan
hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah.
Paham ini berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintahi masyarakat diperlukan
kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh rakyat. Mereka yang
memilikinya merupakan elite masyarakat dan dengan sendirinya berhak untuk
memegang kekuasaan.
3.
Legitimasi Subjek
Kekuasaan
Bentuk
dasar ketiga yaitu legitimasi subjek kekuasaan sama dengan legitimasi demokrasi
yang berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat.
D. Wacana Demokrasi
Istilah demokrasi (democracy: inggris) berasal dari
bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata: demos
yang berarti rakyat dan kratein yang
berarti memerintah. Jadi demokrasi secara sederhana berarti pemerintahan yang
dijalankan oleh rakyat. Demokrasi (pemerintahan dari rakyat) semula dalam
pemikiran Yunani berarti bentuk politik dimana rakyat sendiri memiliki dan
menjalankan seluruh kekuasaan politik. Ini mereka usulkan untuk menentang
pemerintahan oleh satu orang (monarki)
atau oleh kelompok yang memiliki hak-hak istimewa (aristorasi) dan bentuk-bentuk yang jelek dari kedua jenis
pemerintahan ini (tirani dan oligarki).
Pemerintahan oleh rakyat dapat dilakukan secara langsung
atau melalui wakil-wakil rakyat. Secara langsung terdapat dalam demokrasi
murni, sedangkan melalui waki-wakil rakyat terdapat dalam demokrasi perwakilan.
Bersama-sama dengan monarki dan oligarki, demokrasi tercatat sebagai salah satu
bentuk pokok pemerintahan. Dalam perjalanan sejarah arti demokrasi mengalami
perubahan yang mendalam.
Dasar pemikiran modern tentang demokrasi ialah ide
politis-filosofis tentang kedaulatan rakyat. Ini berarti, semua kekuasaan
politik dikembalikan pada rakyat itu sendiri sebagai subjek asli otoritas ini.
Yang ditambahkan disini ialah persyaratan agar semua warga negara mampu
menggunakan rasionya dan mempunyai suara hati. Sebagai manusia yang bebas dan
pada dasarnya sama, berperan serta dalam mengambil keputusan tentang
masalah-masalah politik yang menjadi perhatian mereka. Bagaimanapun, rakyat
secara keseluruhan dapat menjalankan kekuasaan tertinggi negara secara bersama
hanya pada tingkat yang sangat terbatas (demokrasi langsung atau demokrasi
murni). Karna itu, proses-proses hukum harus dituangkan dalam undang-undang
dasar. Keputusan-keputusan demokratis yang dicapai secara adil haruslah diakui
sebagai mengikat seluruh warga negara, karna dalam sebuah demokrasi, otoritas
legitim, yang diberikan Allah kepada rakyat, dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Bagaimanapun peraturan-peraturan resmi tentang pengambilan keputusan demokratis
itu sendiri tidak menyediakan jaminan mutlak melawan ketidakadilan.
Sedangkan menurut Hendra Nurtjahyo, wacana demokrasi
dapat disoroti dengan pengertian secara umum dan pengertian secara filosofis.
Dalam pengertian umum, ide demokrasi adalah suatu prinsip etika yang digunakan
dalam bidang politik pemerintahan. Jadi, demokrasi itu sendiri dianggap
mengandung napas subtansi etik inheren di dalamnya, sehingga pada saat kita
menegaskan bahwa kita memilih untuk menganut teori politik demokrasi, pada
dasarnya kita telah memilih suatu kaidah sistematik dari etika tertentu, yaitu
etika demokrasi atau ajaran moral demokrasi.
Demokrasi dianggap memiliki subtansi etis sebagai dasar
dari etika politik modern karna demokrasi bermuatan etis dan adanya
rasionalitas pertanggung jawaban atas kekuasaan rakyat yang diberikan kepada
wakil atau pemimpin yang dipilih secara bebas. Ia bermuatan etis juga karna
tidak direstuinya cara pemaksaan untuk tunduk pada kekuasaan yang tidak
disetujuinya. Demokrasi bermuatan etis juga karna mengakui kesamaan hak sebagai
warga suatu polis (negara kota) atau dalam suatu nation-state (negara).
Demokrasi dalam konteks negara adalah demokrasi sebagai
spirit (ide) dan institusionalisasi dari prinsip-prinsip kebebasan dan kesamaan
dengan segala derivatifnya menuju persetujuan politik melalui kedaulatan suara
mayoritas yang dimasukan dalam kerangka yuridis. Jadi, dalam hal ini
“demokrasi” mengandung tiga fenomena sekaligus, yaitu fenomena politik (kekuasaan), fenomena
etika (moral), dan fenomena hukum,
yang saling berjalin membentuk teori dengan pendasaran teoretis yang
tegas-tegasmenolak tatanan kekuasaan (politik) yang otoriter dan totoliter.
Ketiga prinsip eksistensial tersebut menjadi dasar dari semangat (spirit) dan
pelembagaan (institusionalisasi) yang diukur lewat majority principle dan dijamin lewat perangkat hukum (hukum
positif) oleh kaum positivis, yang akhirnya menjadi keabsahan (legimitasi)
kendali kekuasaan yang senantiasa dapat di kontrol oleh rakyat secara efektif.
Sementara dalam pengertian filosofis, demokrasi dapat
dimasukkan dalam kategori fenomena kekuasaan. Demokrasi merupakan konsep atau
perangkat kekuasaan (struktur) yang dimaksud sebagai penghayatan, tatanan, dan
pengolahan bernegara yang dikehendaki dan disetujui oleh rakyat melalui suara
mayoritas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa demokrasi hanyalah salah satu fenomena
pengolahan kekuasaan dalam suatu institusi negara yang menempatkan suara rakyat
mayoritas yang bebas dan berkesamaan hak menjadi penentu.
Selanjutnya, wacana demokrasi juga dapat dilihat dari dua
dimensi, yaitu: demokrasi institusional atau prosedural seperti yang dikemukan
oleh Josep A. Schumpeter sebagai “kesepakatan kelembagaan untuk mencapai
keputusan-keputusan politik dimana individu-individu meraih kekuasaan untuk
menentukan melalui sebuah perjuangan kompetitif yang mewakili suara rakyat”.
Definisi demokrasi yang lain telah dikemukan oleh David Beetham sebagai”sebuah
modus perbuatan keputusan tentang sejumlah peraturan dan kebijakan secara
kolektif bersifat mengikat di mana rakyat menjalankan kontrolnya”.
E.
Prinsip-prinsip
Demokrasi
Dalam buku Hendra Nurtjahyo, prinsip-prinsip demokrasi
dapat diklasifikasi ke dalam dua kategori. Pertama,
prinsip-prinsip umum yang dirumuskan oleh beberapa pakar berikut ini:
William Ebenstein menyebutkan bahwa ada delapan ciri-ciri
utama dari konsep demokrasi barat, yaitu:
1.
Empirisme rasional
2.
Penekanan pada
individu
3.
Negara sebagai alat
4.
Kesukarelaan
(voluntarism)
5.
Hukum di atas hukum
6.
Penekanan pada cara
(prosedural)
7.
Persetujuan sebagai
dasar dalam hubungan antar manusia
8.
Persamaan semua
manusia.
Bernhard Sutor menyebutkan bahwa demokrasi memiliki
tanda-tanda empiris, yaitu jaminan terhadap hak-hak untuk mengeluarkan
pendapat, memperoleh informasi bebas, kebebasan pers, berserikat dan
berkoalisi, berkumpul dan berdemonstrasi, mendirikan partai-partai, beroposisi,
lalu pemilihan yang bebas, sama, rahasia, atas dasar minimal dua alternatif, di
mana para wakil dipilih untuk waktu terbatas.
Dalam bentuknya yang ideal, doktrin (demokrasi) tersebut
menyuarakan kebebasan dan persamaan untuk seluruh warga dari sebuah
negara-bangsa untuk menyusun kehidupan politik dan ekonomi sesuai dengan
kemampuan mereka. Doktrin ini menjamin kebebasan berfikir, berbicara, dan
berkumpul sehingga tidak ada halangan apa pun bagi pengembangan sepenuhnya
kemampuan-kemampuan manusia. Demokrasi dikagumi sebagai obat efektif melawan
despotisme (kekuasaan tiran) yang merupakan hal lumrah bagi lembaga-lembaga
politik masa lalu, seperti Monarki, Aristokrasi, dan Oligarki. Sedangkan
Reinholf Zippelius menegaskan bahwa pemilihan umum harus secara efektif
menentukan siapa-siapa yang memimpin negara dan arah kebijakan apa yang mereka
ambil, serta bahwa dalam demokrasi, pendapat umum memainkan peran penting.
Kedua, prinsip-prinsip eksistensial demokrasi yang mencakup
tiga nilai utama, yaitu:
1.
Prinsip Kebebasan
Kebebasan
manusia terhadap segala bentuk kekangan dan kekuasaan sewenang-wewang baik di
bidang agama, maupun di bidang pemikiran, serta di bidang politik adalah sangat
penting. Kebebasan juga ditekankan sebagai penentu bagi kemanusiaan manusia
dengan martabatnya. Lebih jauh Franz Magnis-Suseno menjelaskan bahwa akar
kebebasan adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri atau
disebut sebagai “kebebasan eksistensial”. Kebebasan ini berakar dalam kebebasan
rohani manusia, yaitu dalam penguasaan manusia terhadap bathinnya, terhadap
pikiran dan kehendaknya. Kebebasan dalam konteks politik dipahami sebagai
kemampuan untuk memilih secara bebas.
2.
Prinsip Persamaan
Prinsip
kesamaan atau kesetaraan sebagai ciri eksistensial kedua dari demokrasi, dapat
dipahami sebagai memperlakukan semua orang sama dan sederajatnya. Jeremy Bentham mengatakan bahwa “setiap
t\orang dilihat sebagai satu dan tidak seorangpun dilihat sebagai lebih dari
satu”. Secara garis besar demokrasi menghendaki persamaann atau kesamaan
hak-hak dalam menjalankan peran politik dalam konteks negara, kesamaan hak-hak
politik ini esensial dalam kuantitas kemanusiaannya (subjek otonom) sebagai
seorang individu yang bebas.
Kesamaan
politik ini menjadi prinsip yang sangat penting dalam mewujudkan
eksistensidemokrasi dalam realitas. Tanpa ada kesamaan politik, pemahaman
demokrasi modern tidak akan menemui akar eksistensinya sebagai etika politik
modern yang melawan pemikiran monarkis yang menempatkan posisi manusia dalam
ketidaksamaan politis, yaitu menempatkan raja dan kalangan bangsawan berada di
atas rakyat dalam hal hukum dan penyelenggarakan pemerintahan negara.
3.
Prinsip Kedaulatan
Prinsip
kedaulatan suara mayoritas (rakyat) merupakan fenomena lanjutan setelah
kebebasan dan kesamaan itu dimiliki oleh setiap individu dari rakyat.
Kedaulatan rakyat adalah konsekuensi logis dari adanya kebebasan dan equality
of the people yang kemudian menghendaki adanya hierarki penguasaan
yang didasarkan atas persetujuan lebih dahulu dari orang-orang yang sama hak
tersebut untuk dapat diperintah. Kelanjutan dari prinsip kedaulatan rakyat
harus dideterminasi ke dalam suatu pengambilan keputusan secara demokratis
sebagai konklusi kehendak dan persetujuan rakyat, konsensus
hanya
bisa ditunjukkan melalui dua cara: kesepakatan (konsensus) atau suara
mayoritas. Bila kesepakatan itu tidak tercapai, secara absolut prinsip suara
mayoritas akan menjadi pegangan utama.
Namun dalam pandangan Franz Magnis-Suseno, kedaulatan rakyat tetap
memiliki keterbatasan dalam dua aspek, yaitu: pertama, kedaulatan rakyat tidak berarti bahwa segala keputusan
harus diambil langsung oleh rakyat. Demokrasi langsung tidak hanya tidak dapat
direalisasikan, melainkan juga secara etis tidak perlu. Kedua, secara etis harus dikatakan bahwa tidak ada kehendak pihak
mana pun di dunia, entah minoritas, entah mayoritas, yang memiliki suatu hak
mutlak agar kehendaknya terlaksana, segenap kehendak satu pihak menemukan batasnya
pada pihak lain, tidak ada hak atas kebebasan yang tidak terbatas.[5]
F.
Agama dalam Ruang
Publik
Teori sekularisasi dan doktrin liberal yang menyatakan
bahwa keyakinan keagamaan akan memudar dan kehilangan relevansinya dalam ruang
publik, seiring dengan pendalaman proses
modernisasi dan keperluan adanya ”kemandirian konsepsi keadilan” (freestanding conception of justice) di
luar agama, menuai banyak bantahan. Berdasarkan risetnya, Jose Casanova (1994)
menyimpulkan bahwa sejak 1960-an, kepercayaan teori sekularisasi yang
membuatkan pemunduran peran agama (secularization
ad religious decline) dan privatisasi peran agama (secularization as privatization) menemukan penyangkalan akibat inkonsistensi dalam teorinya dan kurangnya
bukti empiris. [6]
Alih-alih terjadinya proses privatisasi agama, bangkitnya
gerakan-gerakan tradisional keagamaan pada era 1980-an dan 1990-an, mulai dari
politik islam hingga teolpgi pembebasan katolik, yang membawa keluar dari ruang
privat ke ruang publik, mengindisikan bahwa yang sedang berlangsung justru
terjadinya proses deprivatisasi agama. Casanova menunjukkan 5 kasus untuk
menggambarkan berbagai bentuk deprivatisasi agama dalam dunia modern. Dia
menyondorkan kasus peran publik Gereja (katolik) di Spanyol (dari Gereja negara
menuju disestablishment), Polandia (dari Gereja bangsa menuju civil society),
Brazil (dari gereja oligarki menuju gereja rakyat), dan Amerikat Serikat (dari
privat ke denominasi publik), dan juga peran Protestantisme evangelis di negara
yang sama (dari agama sipil ke kristen kanan). Kecenderungan deprivatisasi ini,
menurutnya tidak hanya berlaku dalam dunia barat krisyen, melainkan juga dalam
dunia islam, Yahudi, Hindu, dan Buddha. Fakta-fakta aktual di atas menunjukan
bahwa agama memainkan peran signifikan di ruang publik dalam sistem demokrasi.
Dalam konteks indonesia, agama dalam ruang publik di
artikulasikan oleh sebagian guru bangsa dan cendikiawan kita, seperti
Nurcholish Madjid dengan teologi inklusifnya, Kuntowijoyo dengan paradigma
objektifikasinya, dan Abdurrahman Wahid dengan ide pribumisasi islamnya. Bagi
Nurcholish, dalam ruang publik nilai-nilai islam harus di bingkai ke dalam
istilah yang universal dan inklusivistik, seperti keadilan, persamaan
antarmanusia, hak pribadi, kebebasan, dan kemakmuran. Semua nilai itu ada dalam
agama islam namun bersifat inklusif, yakni mampu merangkul semua orang tanpa
memandang agama, suku, golongan, dan bangsanya. Demikian pula, Kuntowijoyo,
bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan,
objektifikasi merupakan penerjemahan nilai-nilai internal atau keyakinan
internal ke dalam kategori-kategoriobjektif. Disini objektifikasi sebagai
bentuk perbuatan rasional nilai
(wertrational) yang diwujudkan ke dalam perbuatan rasional, sehingga orang luar
pun dapat menikmati tanpa harus menyetujui nilai-nilai asalnya.
Dengan demikian, objektifikasi Islam berupaya menampilkan
nilai-nilai prinsipil dalam agama islam secara objektif dalam spektrum maknanya
yang sangat luas. Tujuannya tidak lain agar bijakan islam bisa menyentuh bukan
hanya kepada umat islam secara internal
melainkan juga kepada non-muslim secara eksternal, sehingga islam benar-benar
mampu menyemai kebaikan, kedamaian, dan manfaat bagi seluruh umat manusia
(rahmatan lil alamin).
G. Konklusi Demokrasi sebagai Kategori Dinamis
Ketika gema demokrasi disuarakan di berbagai belahan
dunia bagian Barat dan Eropa, serta saat Samuel P. Huntington, sebagai direktur
Center for International Affairs
(CFIA) Universitas Harvard, meneriakkan bahwa demokratisasi merupakan suatu
proses terus-menerus yang kini semakin tidak bisa dibalikan lagi sekitar dua
dekade lalu, tidak berlebihan bila nyaris semua negara-negara di berbagai
wilayah terkena virus demokrasi. Bukan hanya di belahan Barat, bangsa-bangsa
muslim pun tidak mau ketinggalan berusaha mewujudkan politik yang demokratis
bagi bangsanya masing-masing.
Dalam kajian filsafat politik, ternyata perkembangan
sistem politik seolah-olah mengantarkan pada bentuk sistem demokrasi, baik
secara teoretis maupun secara praktis. Namun, dalam perspektif para pakar
politik, demokrasi adalah suatu kategori dinamis. Demokrasi harus kita pandang
sebagai “cara” atau “tujuan”, bukan tujuan itu sendiri. Maka logikanya ialah
bahwa suatu bentuk demokrasi tidak dapat diterapkan begitu saja secara kaku dan
“dogmatis”, jika diperkirakan justru merusak atau mengganggu hasil-hasil
positif perkembangan negara yang telah dicapai. Adalah absurd untuk
melaksanakan hal sedemikian.
Karna yang esensial adalah proses, maka beberapa hal,
seperti Willy Eichler, berpendapat bahwa demokrasi bukanlah suatu nilat statis
yang terletak di suatu di suatu tempat di depan kita, lalu kita bergerak menuju
ke sana untuk mencapainya. Bagi Eichler demokrasi adalah suatu nilai dinamis,
karna nilai esensialnya adalah proses ke arah yang lebih maju dan baik
dibanding dengan yang sedang dialami oleh suatu masyarakat atau negara. Jadi Eichler
melihat bahwa demokrasi adalah identik dengan demokratisasi. Yang penting
adalah bahwa dalam suatu masyarakat atau negara terdapat proses terus menerus,
secara dinamis, dalam gerak perkembangan dan pertumbuhan ke arah yang lebih
baik.
Dalam perspektif Nurcholish Madjid, dalam pancasila
prinsip demokrasi itu terungkap dalam sila keempat. Pancasila dapat dilihat
terdiri dari sila pertama sebagai sila dasar, sila kedua sebagai pancaran sila
pertama, sila ketiga sebagai wahana, sila keempat sebagai cara, dan sila kelima
sebagai tujuan. Namun, kita diajari dan memang benar untuk memandang seluruh
sila itu sebagai kesatuan yang utuh, tidak bisa dipisah-pisahkan. Maka berarti
bahwa “cara” dan “tujuan” pun tidak bisa dipisah-pisah satu dari yang lain
BAB III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
Filsafat politik adalah suatu upaya untuk membahas
hal-hal yang berkaitan dengan politik secara sistematis, logis, bebas, mendalam
dan menyeluruh. Filsafat politik berarti pemikiran-pemikiran yang berkaitan
tentang politik. Bidang politik merupakan tempat menerapkan ide filsafat, ada
berbagai macam ide-ide filsafat yang ikut mendorong perkembangan politik modern
yaitu liberalisme, komunisme, dan pancasila. Filsafat politik juga dapat
diartikan sebagai refleksi filosofis mengenai masalah-masalah- sosial politik
yang dapat dibedakan menjadi dua bagian pembahasan yang berkaitan erat, yakni pertama, mempersoalkan hakikat, kedua, mempersoalkan fungsi dan tujuan.
Akan tetapi dalam kenyataannya, politik bukan hanya mempersoalkan hakikat,
fungsi dan tujuan negara, melainkan juga membahas soal keluarga dalam negara,
pendidikan, agama, hak dan kewajiban individual, kekayaan dan harta milik
pemerintah dan sebagainya. Filsafat politik berbeda dengan ilmu politik, karna
ilmu politik bersifat desriftif dan bersangkut paut dengan fakta-fakta,
sedangkan filsafat politik bersifat normatif dan bersangkut paut dengan
nilai-nilai.
Didalam filsafat politik juga ada signifikansi filsafat
politik, tipologi legitimasi, wacana demokrasi, prinsip-prinsip demokrasi,
agama dalam ruang publik, dan konklusi demokrasi sebagai kategori dinamis.
DAFTAR PUSTAKA
Zaprulkhan.
Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta 2013
http//mahrusali611.blogspot.com/2013/07/filsafat
politik
[5] Hendra
Nurtjahyo, Filsafat Demokrasi,
(Jakarta:Bumi Aksara,2008),hlm.72-294. Wahana tentang demokrasi saya sarikan
lebih detail dari buku Hendra tersebut dan buku Franz Magnis Suseno