Senin, 16 Mei 2016



KARYA ILMIYAH
FILSAFAT & ILMU LOGIKA
“FILSAFAT POLITIK”

DosenPembimbing :
WIRA SUGIARTO, S.IP, M.Pd.I



 





Di SUSUN OLEH :
JESI AGUSTIKA

SEMESTER IV.A PAI

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) BENGKALIS

2016 M /1437 H

KATA PENGANTAR

 Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat kepada umatnya. Rahmat serta salam semoga tetap tercurahnya kepada junjungan nabi besar kita, pemimpin akhir zaman yang sangat dipanuti oleh pengikutnya yakni nabi Muhammad SAW. Karna tidak memperpanjangkan waktu langsung saja saya bahas tugas saya yang berjudul “Filsafat politik”.  Ini sengaja saya bahas karna sangat penting untuk kita khususnya mahasiswa yang ingin lebih mengenal mengenai filsafat politik. Selanjutnya, saya mengucapkan terimakasih kepada bapak yang telah memberikan tugas sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat waktu.
Demikianlah tugas ini yang dapat saya paparkan jika ada kesalahan dan kekurangan dalam penulisan tugas ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Wassallamu’alaikum Wr.Wb








DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................    i
DAFTAR ISI..................................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................  1
A.    Latar Belakang Masalah......................................................................................  ............. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................ 2
A.    Pengertian Filsafat politik.................................................................................................   2
B.     Signifikansi filsafat politik.................................................................................................   4
C.     Tipologi legitimasi...........................................................................................................   6
D.    Wacana demokrasi.........................................................................................................   7
E.     Prinsip-prinsip demokrasi.............................................................................................. 9
F.      Agama dalam ruang publik.................................................................................. ...........12
G.    Konklusi demokrasi sebagai kategori dinamis.................................................................. 13
BAB III PENUTUP.................................................................................................... 10
A.    Kesimpulan................................................................................................................... 10
B.     Saran........................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Filsafat Politik merupakan studi tentang ide-ide dan institusi-institusi yang berkembang sepanjang waktu. Ia berusaha menjelaskan pemahaman mengenai cara bagaimana manusia di sepanjang zaman membentuk dan mengimplementasikan aspirasi politik dan sosial. Namun, filsafat politik juga merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar analisis mengenai teori-teori politik masa lalu. Ia berusaha menemukan prinsip-prinsip universal yang mendasari fenomena politik dalam semua situasi historisnya. Dalam melakukan hal ini, studi ini berupaya untuk mencapai pemahaman yang lebih baik mengenai politik kontemporer dari sudut padang etika maupun sebab-akibat.
Studi politik tidak terbatas pada masalah analisis terhadap institusi-institusi dan cara-cara institusi tersebut berfungsi. Di balik institusi-institusi ini ada nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang tampak untuk didesain oleh politik. Sebagaimana hal etikanya, pada dasarnya merupakan ilmu mengenai tatanan dimana watak manusia bisa sampai pada kesempurnaan yang maksimal. Filsafat politik, atau pelacakan prilaku dan fenomena politik dalam suatu kerangka etika merupakan bagian integral dari studi politik.
Pada titik inilah, dalam bab ini kita akan melakukan penjelajahan mengenai berbagai komponen yang berhubungan dengan filsafat politik, yakni bagaimana pengertian filsafat politik, signifikansi filsafat politik, tipologi legitimasi, wacana demokrasi, agama dalam ruang publik, dan diakhiri dengan sebuah konklusi mengenai wacana demokrasi sebagai kategori dinamis.
 

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Filsafat Politik
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu philo dan sophia. Dua kata ini mempunyai arti masing-masing philo berarti cinta dalam arti lebih luas atau umum yaitu keinginan, kehendak. Sedangkan sophia mempunyai arti hikmah, bijaksana, dan kebenaran. Jadi, secara etimologis, filsafat dapat diartikan sebagai cinta akan bijaksana.
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud pada proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dalam negara seperti indonesia, kekuasaan negara terbagi tiga yaitu pertama, lembaga eksekutif oleh presiden. Kedua, lembaga legislatif oleh DPR. Dan ketiga, lembaga yudikatif oleh Mahkamah Agung. Ketiga-tiga bersifat Independen artinya tidak saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Politik juga sering dikaitkan dengan hal penyelenggarannya pemerintah dengan negara. Yang menyelenggarakannya bukan rakyat, tetapi pemerintahan yang berkuasa.
Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat politik adalah suatu upaya untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan politik secara sistematis, logis, bebas, mendalam dan menyeluruh. Filsafat politik berarti pemikiran-pemikiran yang berkaitan tentang politik. Bidang politik merupakan tempat menerapkan ide filsafat, ada berbagai macam ide-ide filsafat yang ikut mendorong perkembangan politik modern yaitu liberalisme, komunisme, dan pancasila. Filsafat politik juga dapat diartikan sebagai refleksi filosofis mengenai masalah-masalah- sosial politik yang dapat dibedakan menjadi dua bagian pembahasan yang berkaitan erat, yakni pertama, mempersoalkan hakikat, kedua, mempersoalkan fungsi dan tujuan. Akan tetapi dalam kenyataannya, politik bukan hanya mempersoalkan hakikat, fungsi dan tujuan negara, melainkan juga membahas soal keluarga dalam negara, pendidikan, agama, hak dan kewajiban individual, kekayaan dan harta milik pemerintah dan sebagainya. Filsafat politik berbeda dengan ilmu politik, karna ilmu politik bersifat desriftif dan bersangkut paut dengan fakta-fakta, sedangkan filsafat politik bersifat normatif dan bersangkut paut dengan nilai-nilai.
Ada beberapa pengertian filsafat politik menurut beberapa ahli, yaitu:
1.         Plato, filsafat politik adalah upaya untuk membahas dan menguraikan berbagai segi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan negara, ia menawarkan konsep pemikiran tentang manusia dan negara yang baik dan ia juga mempersoalkan cara yang harus ditempuh untuk mewujudkan konsep pemikiran. Bagi plato, manusia dan negara memiliki persamaan hakiki, oleh karna itu apabila manusia baik negarapun baik dan apabila manusia buruk negarapun buruk. Apabila negara buruk berarti manusia juga buruk, artinya negara adalah cerminan manusia yang menjadi warganya.
2.         Machiavelli, filsafat politik adalah ilmu yang menuntut pemikiran dan tindakan yang praktis dan konkrit terutama berhubungan dengan negara. Baginya, negara harus menduduki tempat yang utama dalam kehidupan penguasa. Negara harus menjadi kriteria tertinggi bagi akivitas sang penguasa, negara harus dilihat dalam dirinya tanpa harus mengacu pada realitas apapun diluar negara.
3.         Agustinus, filsafat politik adalah pemikiran-pemikiran tentang negara, menurutnya negara terbagi dua yaitu:  negara allah (civitas dei), yang dikenal dengan surgawi “kerajaan allah, dan negara sekuler yang dikenal dengan negara duniawi (civitas terrena). Kehidupan di dalam negara allah diwarnai dengan iman, ketaatan, dan kasih sayang allah. Sedangkan negara sekuler “duniawi” menurutnya identik dengan negara cinta pada diri sendiri atau cinta egois ketidakjujuran, pengambaran hawa nafsu.[1]
Dalam buku Julian Baggini juga dapat diartikan bahwa filsafat politik adalah mengenai cara kita membenarkan berbagai bentuk pemerintah, ideologi politik, hukum dan ciri lain dari negara. Ia bukan studi tentang bagaimana rezim dan sistem yang berbeda sebenarnya bekerja, tetapi sebuah investigasi ke dalam prinsip dan argumentasi apa yang bisa digunakan untuk mendukung atau mengkritik bentuk-bentuk umum lembaga dan kepercayaan politik. Filsafat politik juga menyelidiki hal-hal di balik hiruk pikuk banyak debat politik dan menguji soal yang lebih abadi.[2]
Sementara itu, dalam perspektif Haryatmoko, filsafat politik merupakan refleksi untuk memperdalam segi-segi politik dan dengan upaya ini kehidupan politik dapat mengunggkap struktur-strukturnya, maknanya, dan nilainya. Jadi, filsafat politik tidak bisa dipisahkan dari upaya untuk merefleksikan munculnya politik, makna dan nilai kategori politik dalam kehidupan manusia. Maka, mempelajari sumber-sumber politik dituntut dapat menjelaskan bagaimana politik muncul dan menurut kriteria apa esensi politik itu dapat didefinisikan. Atas dasar struktur dan bentuk pemerintahan, orang bisa menguak prinsip dan makna yang ada pada organisasi kelembagaan politik.
Sedangkan filsafat politik lebih reflektif, sintesis, dan menyeluruh sehingga menuntut pengambilan jarak untuk tetap kritis terhadap realitas politik. Filsafat politik selalu menentukan cara pandang tertentu dan menuntut suatu penilaian (sitetis). Unsur normatif sangat kental, oleh karna itu refleksi filosofis hanya mungkin dengan penjelasan dari sebuah ideal yang mengandaikan sebuah konsepsi tentang manusia dan tujuannya.

B.  Signifikansi Filsafat Politik
Dalam paradigma Haryatmoko, tugas filsafat politik mencoba menjelaskan konsep-konsep, prinsip-prinsip, cara penalaran khas praktik-praktik institusi-institusi, dan ideologi-ideologi politik. Filsafat politrik memikirkan apa yang menjadi pra andaian dalam debat-debat dan keputusan politik. Tugas filsafat politik berupaya mengusulkan suatu penjelasan isi normatif yang ditunjukkan oleh sejarah, fakta ekonomi, sosial dan budaya. Tugas filsafat politik adalah menganalisis secara reflektif, menyingkap dan mendiskusikan secara kritis isi normatif yang ada dalam konteks sosio-budaya kemudian merumuskan kembali dalam kerangka prinsip umum dengan metode pembenaran yang mudah dipahami. Akan tetapi, upaya filsafat politik memberi kejelasan tentang bahasa, konsep, dan cara penalaran politik untuk mengungkapkan isi normatifnya bukan hanya merupakan kegiatan intelektual. Apa yang dilakukan oleh filsafat politik itu adalah suatu tanggung jawab politik. Isi tanggung jawab itu adalah pembentukan mereka yang ambil bagian dalam upaya memberi kejelasan dalam perubahan menjadi warga negara yang mampu berpikir dan terutama mampu memberikan penilaian politik.
Tanggung jawab politik dalam bentuk sumbangan pemikiran yang reflektif ini dengan sangat jelas (misalnya) diperlihatkan oleh Hannah Arentd Filsuf politik ini mengatakan bahwa tiadanya pemikiran merupakan bentuk kejahatan atau awal dehumanisasi. Berfikir bersama-sama secara kritis, dalam arti berfikir sendiri dan berfikir dengan menempatkan diri pada posisi orang lain, kata Hannah Arentd, merupakan tanda kemanusiaan dan suatu janji bagi lahirnya suatu dunia bersama yang manusiawi. Bila filsafat tidak bisa langsung memberi kejelasan terhadap politik, setidaknya ia membuat orang mampu membuat penilaian.    
Dengan demikian, filsafat politik memperteguhkan keyakinan-keyakinan yang matang, dan membantu mengambil kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan terhadap kemanusiaan. Jangan sampai filsafat politik menjadi korban ilusi etnosentris, fanatisme agama, nasionalisme sempit sehingga hanya dipergunakan sebagai alat untuk membangun teori yang memberikan pembenaran terhadap prasangka-prasangka negatif suatu bangsa dan kelompok sosial. Filsafat poitik harus kritis supaya tidak tergelincir ke dalam rekayasa ideologi. Kegagalan filsafat politik terletak pada ketidak mampuan mengakui bahwa pencarian kebenaran menuntut perlakuan terhadap yang lain dengan penuh hormat, mengakui yang lain sebagai pribadi moral.
Untuk menghindari kegagalan itu filsafat politik dipanggil untuk pengembangan suatu budaya politik publik. Maka, suatu refleksi lebih dalam tentang hakikat penilaian politik akan membantu upaya tersebut. Prasyarat pengembangan budaya politik publik ialah berfikir dengan menempatkan diri pada posisi orng lain, ini merupakan ungkapan pemikiran yang terbuka.
Pada titik inilah, filsafat politik mempunyai peran penting, yaitu sebagai pemikiran kritis dalam evaluasi kembali. Dan memberi kejelasan supaya berfikir bersama tidak hanya menjadi berfikir bersama-sama, tetapi sungguh menenmpatkan diri pada posisi orang lain. Filsafat politik berperan dalam debat publik, pembentukan kehendak umum, dan etika publik yang akan mematangkan argumen yang mendasari legitimasi kebijakan publik. Untuk itu filsafat politik berusaha mengungkapkan pra-andai pra-andainya , menganalisis, dan mengurangi kompleksitas dan ambiguitas keyakinan-kkeyakinan kita, berfikir kritis seperti itu menghindarkan filsafat tergelincir menjadi ideologi.[3]
Sementara itu menurut SP Varma, seorang ahli filsafat politik adalah seseorang yang dapat memisahkan pengetahuan dari pendapat, dan yang memandang masalah-masalah yang dipelajari dari sudut pandang yang relatif netral. Seorang teoretikus diharapkan dapat membebaskan diri dari pergulatan politik yang sedang berlangsung dan memandang persoalan-persoalan dari sudut pandang atau perspektif yang tidak memihak pada pihak yang sedang bersaing (actual combatants) karna tugasnya adalah mencari kebenaran dan bukan ikut serta dalam pergulatan yang sebenarnya.
Oleh sebab itu, seorang ahli filsafat politik dalam pengertian tradisional adalah tidak lepas dari pergulatan politik zaman sekarang. Ia tidak tinggal di menara gading yang sama sekali terpisah dari dunia politik praktis, ia benar-benar bagian dari pergulatan itu. Satu-satunya perbedaan antara dia dengan pelaku-pelaku pergulatan ialah kenyataan bahwa ia berusaha mencari tahu apa yang benar dalam situasi yang berbeda, dan setelah itu mempertahankan pandangannya dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Dalam hal ini juga tidak berarti mendiami apa yang disebut menara gading yang terpisah sama sekali dari dunia politik praktis, tempat ia menyibukan diri dengan membangun bentuk-bentuk konsepsi yang seluruhnya abstrak. Teori politik bukanlah suatu mekanisme pelarian diri melainkan sebuah panggilan yang berat.[4]

C.  Tipologi Legitimasi
            Istilah legitimasi yang dalam bahasa inggris diunggkapkan legitimacy berarti pengesahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, legitimasi diartikan sebagai:
1.      Keterangan yang mengesahkan atau membenarkan bahwa pemegang kebenaran adalah betul-betul orang yang dimaksud (kesahan)
2.      Pernyataan yang sudah menurut undang-undang atau sesuai dengan undang-undang (pengesahan).

Dalam konteks filsafat politik, legitimasi berarti keabsahan kekuasaan. Setiap kekuasaan negara mempunyai wewenang atau otoritas yang dapat dipersoalkan apakah wewenang itu absah atau tidak, apakah hak pihak yang berwenang untuk menuntut ketaatan mempunyai dasar atau tidak. Di sini keabsahan adalah istilah normatif. Mempertanyakan keabsahan wewenang berarti kita memperbandingkan wewenang dengan suatu norma, apabila sesuai dengannya maka wewenang itu sah, apabila tidak, wewenang itu tidak sah.
Dalam perspektif Franz Magnis-Suseno, dari segi objek dibedakan antara dua pertanyaan legitimasi yaitu: antara legitimasi materi wewenang dan legitimasi subjektif wewenang, legitimasi materi wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsinya sedangkan legitimasi subjektif wewenang mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau sekelompok orang untuk membuat undang-undang dan peraturan bagi masyarakat dan untuk memegang kekuasaan negara. Pada prinsipnya legitimasi terbagi menjadi 3, yaitu:
1.    Legitimasi Religius
Mendasarkan hak untuk memerintah pada faktor-faktor yang adiduniawi, jadi bukan pada kehendak rakyat atau pada suatu percakapan empiris khusus penguasaan. Menurut paham ini, penguasa dipandang sebagai manusia yang memiliki kekuatan-kekuatan adiduniawi, ilahi, gaib, maka ia sudah bukan manusia biasa lagi dan wewenangnya tidak dapat diganggu gugat justru karna berhakikat adiduniawi.
2.    Legitimasi Eliter
Mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Paham ini berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintahi masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh rakyat. Mereka yang memilikinya merupakan elite masyarakat dan dengan sendirinya berhak untuk memegang kekuasaan.
3.    Legitimasi Subjek Kekuasaan
Bentuk dasar ketiga yaitu legitimasi subjek kekuasaan sama dengan legitimasi demokrasi yang berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat.

D.  Wacana Demokrasi
Istilah demokrasi (democracy: inggris) berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata: demos yang berarti rakyat dan kratein yang berarti memerintah. Jadi demokrasi secara sederhana berarti pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat. Demokrasi (pemerintahan dari rakyat) semula dalam pemikiran Yunani berarti bentuk politik dimana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik. Ini mereka usulkan untuk menentang pemerintahan oleh satu orang (monarki) atau oleh kelompok yang memiliki hak-hak istimewa (aristorasi) dan bentuk-bentuk yang jelek dari kedua jenis pemerintahan ini (tirani dan oligarki).
Pemerintahan oleh rakyat dapat dilakukan secara langsung atau melalui wakil-wakil rakyat. Secara langsung terdapat dalam demokrasi murni, sedangkan melalui waki-wakil rakyat terdapat dalam demokrasi perwakilan. Bersama-sama dengan monarki dan oligarki, demokrasi tercatat sebagai salah satu bentuk pokok pemerintahan. Dalam perjalanan sejarah arti demokrasi mengalami perubahan yang mendalam.
Dasar pemikiran modern tentang demokrasi ialah ide politis-filosofis tentang kedaulatan rakyat. Ini berarti, semua kekuasaan politik dikembalikan pada rakyat itu sendiri sebagai subjek asli otoritas ini. Yang ditambahkan disini ialah persyaratan agar semua warga negara mampu menggunakan rasionya dan mempunyai suara hati. Sebagai manusia yang bebas dan pada dasarnya sama, berperan serta dalam mengambil keputusan tentang masalah-masalah politik yang menjadi perhatian mereka. Bagaimanapun, rakyat secara keseluruhan dapat menjalankan kekuasaan tertinggi negara secara bersama hanya pada tingkat yang sangat terbatas (demokrasi langsung atau demokrasi murni). Karna itu, proses-proses hukum harus dituangkan dalam undang-undang dasar. Keputusan-keputusan demokratis yang dicapai secara adil haruslah diakui sebagai mengikat seluruh warga negara, karna dalam sebuah demokrasi, otoritas legitim, yang diberikan Allah kepada rakyat, dijalankan dengan sungguh-sungguh. Bagaimanapun peraturan-peraturan resmi tentang pengambilan keputusan demokratis itu sendiri tidak menyediakan jaminan mutlak melawan ketidakadilan.
Sedangkan menurut Hendra Nurtjahyo, wacana demokrasi dapat disoroti dengan pengertian secara umum dan pengertian secara filosofis. Dalam pengertian umum, ide demokrasi adalah suatu prinsip etika yang digunakan dalam bidang politik pemerintahan. Jadi, demokrasi itu sendiri dianggap mengandung napas subtansi etik inheren di dalamnya, sehingga pada saat kita menegaskan bahwa kita memilih untuk menganut teori politik demokrasi, pada dasarnya kita telah memilih suatu kaidah sistematik dari etika tertentu, yaitu etika demokrasi atau ajaran moral demokrasi.
Demokrasi dianggap memiliki subtansi etis sebagai dasar dari etika politik modern karna demokrasi bermuatan etis dan adanya rasionalitas pertanggung jawaban atas kekuasaan rakyat yang diberikan kepada wakil atau pemimpin yang dipilih secara bebas. Ia bermuatan etis juga karna tidak direstuinya cara pemaksaan untuk tunduk pada kekuasaan yang tidak disetujuinya. Demokrasi bermuatan etis juga karna mengakui kesamaan hak sebagai warga suatu polis (negara kota) atau dalam suatu nation-state (negara).
Demokrasi dalam konteks negara adalah demokrasi sebagai spirit (ide) dan institusionalisasi dari prinsip-prinsip kebebasan dan kesamaan dengan segala derivatifnya menuju persetujuan politik melalui kedaulatan suara mayoritas yang dimasukan dalam kerangka yuridis. Jadi, dalam hal ini “demokrasi” mengandung tiga fenomena sekaligus, yaitu fenomena politik (kekuasaan), fenomena etika (moral), dan fenomena hukum, yang saling berjalin membentuk teori dengan pendasaran teoretis yang tegas-tegasmenolak tatanan kekuasaan (politik) yang otoriter dan totoliter. Ketiga prinsip eksistensial tersebut menjadi dasar dari semangat (spirit) dan pelembagaan (institusionalisasi) yang diukur lewat majority principle dan dijamin lewat perangkat hukum (hukum positif) oleh kaum positivis, yang akhirnya menjadi keabsahan (legimitasi) kendali kekuasaan yang senantiasa dapat di kontrol oleh rakyat secara efektif.
Sementara dalam pengertian filosofis, demokrasi dapat dimasukkan dalam kategori fenomena kekuasaan. Demokrasi merupakan konsep atau perangkat kekuasaan (struktur) yang dimaksud sebagai penghayatan, tatanan, dan pengolahan bernegara yang dikehendaki dan disetujui oleh rakyat melalui suara mayoritas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa demokrasi hanyalah salah satu fenomena pengolahan kekuasaan dalam suatu institusi negara yang menempatkan suara rakyat mayoritas yang bebas dan berkesamaan hak menjadi penentu.
Selanjutnya, wacana demokrasi juga dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu: demokrasi institusional atau prosedural seperti yang dikemukan oleh Josep A. Schumpeter sebagai “kesepakatan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik dimana individu-individu meraih kekuasaan untuk menentukan melalui sebuah perjuangan kompetitif yang mewakili suara rakyat”. Definisi demokrasi yang lain telah dikemukan oleh David Beetham sebagai”sebuah modus perbuatan keputusan tentang sejumlah peraturan dan kebijakan secara kolektif bersifat mengikat di mana rakyat menjalankan kontrolnya”.

E.   Prinsip-prinsip Demokrasi
Dalam buku Hendra Nurtjahyo, prinsip-prinsip demokrasi dapat diklasifikasi ke dalam dua kategori. Pertama, prinsip-prinsip umum yang dirumuskan oleh beberapa pakar berikut ini:
William Ebenstein menyebutkan bahwa ada delapan ciri-ciri utama dari konsep demokrasi barat, yaitu:
1.    Empirisme rasional
2.    Penekanan pada individu
3.    Negara sebagai alat
4.    Kesukarelaan (voluntarism)
5.    Hukum di atas hukum
6.    Penekanan pada cara (prosedural)
7.    Persetujuan sebagai dasar dalam hubungan antar manusia
8.    Persamaan semua manusia.

Bernhard Sutor menyebutkan bahwa demokrasi memiliki tanda-tanda empiris, yaitu jaminan terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat, memperoleh informasi bebas, kebebasan pers, berserikat dan berkoalisi, berkumpul dan berdemonstrasi, mendirikan partai-partai, beroposisi, lalu pemilihan yang bebas, sama, rahasia, atas dasar minimal dua alternatif, di mana para wakil dipilih untuk waktu terbatas.
Dalam bentuknya yang ideal, doktrin (demokrasi) tersebut menyuarakan kebebasan dan persamaan untuk seluruh warga dari sebuah negara-bangsa untuk menyusun kehidupan politik dan ekonomi sesuai dengan kemampuan mereka. Doktrin ini menjamin kebebasan berfikir, berbicara, dan berkumpul sehingga tidak ada halangan apa pun bagi pengembangan sepenuhnya kemampuan-kemampuan manusia. Demokrasi dikagumi sebagai obat efektif melawan despotisme (kekuasaan tiran) yang merupakan hal lumrah bagi lembaga-lembaga politik masa lalu, seperti Monarki, Aristokrasi, dan Oligarki. Sedangkan Reinholf Zippelius menegaskan bahwa pemilihan umum harus secara efektif menentukan siapa-siapa yang memimpin negara dan arah kebijakan apa yang mereka ambil, serta bahwa dalam demokrasi, pendapat umum memainkan peran penting.
Kedua, prinsip-prinsip eksistensial demokrasi yang mencakup tiga nilai utama, yaitu:
1.    Prinsip Kebebasan
Kebebasan manusia terhadap segala bentuk kekangan dan kekuasaan sewenang-wewang baik di bidang agama, maupun di bidang pemikiran, serta di bidang politik adalah sangat penting. Kebebasan juga ditekankan sebagai penentu bagi kemanusiaan manusia dengan martabatnya. Lebih jauh Franz Magnis-Suseno menjelaskan bahwa akar kebebasan adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri atau disebut sebagai “kebebasan eksistensial”. Kebebasan ini berakar dalam kebebasan rohani manusia, yaitu dalam penguasaan manusia terhadap bathinnya, terhadap pikiran dan kehendaknya. Kebebasan dalam konteks politik dipahami sebagai kemampuan untuk memilih secara bebas.
2.     Prinsip Persamaan
Prinsip kesamaan atau kesetaraan sebagai ciri eksistensial kedua dari demokrasi, dapat dipahami sebagai memperlakukan semua orang sama dan sederajatnya.  Jeremy Bentham mengatakan bahwa “setiap t\orang dilihat sebagai satu dan tidak seorangpun dilihat sebagai lebih dari satu”. Secara garis besar demokrasi menghendaki persamaann atau kesamaan hak-hak dalam menjalankan peran politik dalam konteks negara, kesamaan hak-hak politik ini esensial dalam kuantitas kemanusiaannya (subjek otonom) sebagai seorang individu yang bebas.
Kesamaan politik ini menjadi prinsip yang sangat penting dalam mewujudkan eksistensidemokrasi dalam realitas. Tanpa ada kesamaan politik, pemahaman demokrasi modern tidak akan menemui akar eksistensinya sebagai etika politik modern yang melawan pemikiran monarkis yang menempatkan posisi manusia dalam ketidaksamaan politis, yaitu menempatkan raja dan kalangan bangsawan berada di atas rakyat dalam hal hukum dan penyelenggarakan pemerintahan negara.
3.    Prinsip Kedaulatan
Prinsip kedaulatan suara mayoritas (rakyat) merupakan fenomena lanjutan setelah kebebasan dan kesamaan itu dimiliki oleh setiap individu dari rakyat. Kedaulatan rakyat adalah konsekuensi logis dari adanya kebebasan dan equality  of the people yang kemudian menghendaki adanya hierarki penguasaan yang didasarkan atas persetujuan lebih dahulu dari orang-orang yang sama hak tersebut untuk dapat diperintah. Kelanjutan dari prinsip kedaulatan rakyat harus dideterminasi ke dalam suatu pengambilan keputusan secara demokratis sebagai konklusi kehendak dan persetujuan rakyat, konsensus
hanya bisa ditunjukkan melalui dua cara: kesepakatan (konsensus) atau suara mayoritas. Bila kesepakatan itu tidak tercapai, secara absolut prinsip suara mayoritas akan menjadi pegangan utama.

Namun dalam pandangan  Franz Magnis-Suseno, kedaulatan rakyat tetap memiliki keterbatasan dalam dua aspek, yaitu: pertama, kedaulatan rakyat tidak berarti bahwa segala keputusan harus diambil langsung oleh rakyat. Demokrasi langsung tidak hanya tidak dapat direalisasikan, melainkan juga secara etis tidak perlu. Kedua, secara etis harus dikatakan bahwa tidak ada kehendak pihak mana pun di dunia, entah minoritas, entah mayoritas, yang memiliki suatu hak mutlak agar kehendaknya terlaksana, segenap kehendak satu pihak menemukan batasnya pada pihak lain, tidak ada hak atas kebebasan yang tidak terbatas.[5]

F.   Agama dalam Ruang Publik
Teori sekularisasi dan doktrin liberal yang menyatakan bahwa keyakinan keagamaan akan memudar dan kehilangan relevansinya dalam ruang publik, seiring dengan pendalaman proses  modernisasi dan keperluan adanya ”kemandirian konsepsi keadilan” (freestanding conception of justice) di luar agama, menuai banyak bantahan. Berdasarkan risetnya, Jose Casanova (1994) menyimpulkan bahwa sejak 1960-an, kepercayaan teori sekularisasi yang membuatkan pemunduran peran agama (secularization ad religious decline) dan privatisasi peran agama (secularization as privatization) menemukan penyangkalan akibat  inkonsistensi dalam teorinya dan kurangnya bukti empiris. [6]
Alih-alih terjadinya proses privatisasi agama, bangkitnya gerakan-gerakan tradisional keagamaan pada era 1980-an dan 1990-an, mulai dari politik islam hingga teolpgi pembebasan katolik, yang membawa keluar dari ruang privat ke ruang publik, mengindisikan bahwa yang sedang berlangsung justru terjadinya proses deprivatisasi agama. Casanova menunjukkan 5 kasus untuk menggambarkan berbagai bentuk deprivatisasi agama dalam dunia modern. Dia menyondorkan kasus peran publik Gereja (katolik) di Spanyol (dari Gereja negara menuju disestablishment), Polandia (dari Gereja bangsa menuju civil society), Brazil (dari gereja oligarki menuju gereja rakyat), dan Amerikat Serikat (dari privat ke denominasi publik), dan juga peran Protestantisme evangelis di negara yang sama (dari agama sipil ke kristen kanan). Kecenderungan deprivatisasi ini, menurutnya tidak hanya berlaku dalam dunia barat krisyen, melainkan juga dalam dunia islam, Yahudi, Hindu, dan Buddha. Fakta-fakta aktual di atas menunjukan bahwa agama memainkan peran signifikan di ruang publik dalam sistem demokrasi.
Dalam konteks indonesia, agama dalam ruang publik di artikulasikan oleh sebagian guru bangsa dan cendikiawan kita, seperti Nurcholish Madjid dengan teologi inklusifnya, Kuntowijoyo dengan paradigma objektifikasinya, dan Abdurrahman Wahid dengan ide pribumisasi islamnya. Bagi Nurcholish, dalam ruang publik nilai-nilai islam harus di bingkai ke dalam istilah yang universal dan inklusivistik, seperti keadilan, persamaan antarmanusia, hak pribadi, kebebasan, dan kemakmuran. Semua nilai itu ada dalam agama islam namun bersifat inklusif, yakni mampu merangkul semua orang tanpa memandang agama, suku, golongan, dan bangsanya. Demikian pula, Kuntowijoyo, bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan, objektifikasi merupakan penerjemahan nilai-nilai internal atau keyakinan internal ke dalam kategori-kategoriobjektif. Disini objektifikasi sebagai bentuk  perbuatan rasional nilai (wertrational) yang diwujudkan ke dalam perbuatan rasional, sehingga orang luar pun dapat menikmati tanpa harus menyetujui nilai-nilai asalnya.
Dengan demikian, objektifikasi Islam berupaya menampilkan nilai-nilai prinsipil dalam agama islam secara objektif dalam spektrum maknanya yang sangat luas. Tujuannya tidak lain agar bijakan islam bisa menyentuh bukan hanya kepada umat islam secara  internal melainkan juga kepada non-muslim secara eksternal, sehingga islam benar-benar mampu menyemai kebaikan, kedamaian, dan manfaat bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil alamin).

G.  Konklusi Demokrasi sebagai Kategori Dinamis
Ketika gema demokrasi disuarakan di berbagai belahan dunia bagian Barat dan Eropa, serta saat Samuel P. Huntington, sebagai direktur Center for International Affairs (CFIA) Universitas Harvard, meneriakkan bahwa demokratisasi merupakan suatu proses terus-menerus yang kini semakin tidak bisa dibalikan lagi sekitar dua dekade lalu, tidak berlebihan bila nyaris semua negara-negara di berbagai wilayah terkena virus demokrasi. Bukan hanya di belahan Barat, bangsa-bangsa muslim pun tidak mau ketinggalan berusaha mewujudkan politik yang demokratis bagi bangsanya masing-masing.
Dalam kajian filsafat politik, ternyata perkembangan sistem politik seolah-olah mengantarkan pada bentuk sistem demokrasi, baik secara teoretis maupun secara praktis. Namun, dalam perspektif para pakar politik, demokrasi adalah suatu kategori dinamis. Demokrasi harus kita pandang sebagai “cara” atau “tujuan”, bukan tujuan itu sendiri. Maka logikanya ialah bahwa suatu bentuk demokrasi tidak dapat diterapkan begitu saja secara kaku dan “dogmatis”, jika diperkirakan justru merusak atau mengganggu hasil-hasil positif perkembangan negara yang telah dicapai. Adalah absurd untuk melaksanakan hal sedemikian.
Karna yang esensial adalah proses, maka beberapa hal, seperti Willy Eichler, berpendapat bahwa demokrasi bukanlah suatu nilat statis yang terletak di suatu di suatu tempat di depan kita, lalu kita bergerak menuju ke sana untuk mencapainya. Bagi Eichler demokrasi adalah suatu nilai dinamis, karna nilai esensialnya adalah proses ke arah yang lebih maju dan baik dibanding dengan yang sedang dialami oleh suatu masyarakat atau negara. Jadi Eichler melihat bahwa demokrasi adalah identik dengan demokratisasi. Yang penting adalah bahwa dalam suatu masyarakat atau negara terdapat proses terus menerus, secara dinamis, dalam gerak perkembangan dan pertumbuhan ke arah yang lebih baik.
Dalam perspektif Nurcholish Madjid, dalam pancasila prinsip demokrasi itu terungkap dalam sila keempat. Pancasila dapat dilihat terdiri dari sila pertama sebagai sila dasar, sila kedua sebagai pancaran sila pertama, sila ketiga sebagai wahana, sila keempat sebagai cara, dan sila kelima sebagai tujuan. Namun, kita diajari dan memang benar untuk memandang seluruh sila itu sebagai kesatuan yang utuh, tidak bisa dipisah-pisahkan. Maka berarti bahwa “cara” dan “tujuan” pun tidak bisa dipisah-pisah satu dari yang lain




BAB III
PENUTUPAN

A.    Kesimpulan
Filsafat politik adalah suatu upaya untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan politik secara sistematis, logis, bebas, mendalam dan menyeluruh. Filsafat politik berarti pemikiran-pemikiran yang berkaitan tentang politik. Bidang politik merupakan tempat menerapkan ide filsafat, ada berbagai macam ide-ide filsafat yang ikut mendorong perkembangan politik modern yaitu liberalisme, komunisme, dan pancasila. Filsafat politik juga dapat diartikan sebagai refleksi filosofis mengenai masalah-masalah- sosial politik yang dapat dibedakan menjadi dua bagian pembahasan yang berkaitan erat, yakni pertama, mempersoalkan hakikat, kedua, mempersoalkan fungsi dan tujuan. Akan tetapi dalam kenyataannya, politik bukan hanya mempersoalkan hakikat, fungsi dan tujuan negara, melainkan juga membahas soal keluarga dalam negara, pendidikan, agama, hak dan kewajiban individual, kekayaan dan harta milik pemerintah dan sebagainya. Filsafat politik berbeda dengan ilmu politik, karna ilmu politik bersifat desriftif dan bersangkut paut dengan fakta-fakta, sedangkan filsafat politik bersifat normatif dan bersangkut paut dengan nilai-nilai.
Didalam filsafat politik juga ada signifikansi filsafat politik, tipologi legitimasi, wacana demokrasi, prinsip-prinsip demokrasi, agama dalam ruang publik, dan konklusi demokrasi sebagai kategori dinamis.




DAFTAR PUSTAKA

Zaprulkhan. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2013
http//mahrusali611.blogspot.com/2013/07/filsafat politik



[1] http//mahrusali611.blogspot.com/2013/07/filsafat politik
[2] Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat, (Jakarta: Teraju,2004), hlm.183-184
[3] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas,2003), hal 10-12
[4] SP.Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta:Grafindo Persada,2010), hlm.134-135
[5] Hendra Nurtjahyo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta:Bumi Aksara,2008),hlm.72-294. Wahana tentang demokrasi saya sarikan lebih detail dari buku Hendra tersebut dan buku Franz Magnis Suseno
[6] Yudi Latif, Negara Paripurna,(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2011),hlm.102

3 komentar:

  1. Karya yang bagus... Boleh saya berbagi wawancara dengan Niccolo Machiavelli (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2018/02/wawancara-dengan-niccolo.html

    BalasHapus
  2. CasinoTopRatos - Reviews & Real Players' Ratings for 2021
    Our casino 드래곤 타이거 ranking, real players' ratings & free bonus codes have 라이브스코어 사이트 always been our passion. Read all CasinoTopRatos 러시안룰렛 casino 벳시티먹튀 reviews to find out more! 먹튀신고

    BalasHapus
  3. How to play Roulette in Roulette - Dr.MD
    Online Roulette is 전주 출장안마 one of the most popular 화성 출장마사지 casino games, with over 100 casino games like Slots, Blackjack and 서산 출장마사지 Roulette 구리 출장샵 games like 강원도 출장샵 the

    BalasHapus